Sebuah Karya Sastra – Oleh: Febri Firsandi Putra
———————————————————————
Shana, seorang wanita berusia 30 tahun, hidup dalam dunia pengetahuan dan pemikiran yang tajam. Kecerdasannya dan rasa kritisnya membuatnya jauh dari pesona cinta yang ia anggap ambigu dan tak terdefinisikan. Terlepas dari keberhasilannya dalam karirnya sebagai penulis, Shana merasa ada yang kurang dalam hidupnya, sebuah kesenangan yang belum pernah dia rasakan — cinta.
Sejak kecil, Shana terobsesi dengan filsafat dan teoritis. Dia membaca karya-karya para pemikir besar, mulai dari Plato hingga Kierkegaard. Namun, semakin dalam dia mempelajari teori-teori ini, semakin ambigu dan tidak terjangkau cinta terasa baginya. Nalarnya justru lebih aktif ketimbang hati. Tanpa ia sadari, ia sedang menyalahi hakikat.
Suatu hari, Shana memutuskan untuk mengambil liburan singkat ke Kebun Teh Kayu Aro di Gunung Kerinci. Di tengah keindahan alam yang memukau, Shana menemukan dirinya duduk di sebuah kedai teh yang nyaman, dikelilingi oleh pohon-pohon teh hijau yang subur.
Di situlah dia bertemu dengan seorang pria misterius yang juga sedang menikmati secangkir teh. Nama pria itu adalah Adam, seorang ahli matematika yang juga tertarik pada filsafat.
Shana dan Adam mulai berbicara tentang fenomena kemerosotan etika dan nilai moral serta rasa humanisme. Pembicaraan mereka pun kemudian mengerucut pada pandangan mendalam tentang cinta.
Percakapan mereka menjadi medan pertempuran pikiran yang menarik. Di mana keduanya menyajikan argumen yang kuat dan bertentangan tentang cinta. Shana mengungkapkan ketidakpercayaannya terhadap cinta, menganggapnya sebagai ilusi atau kebutuhan emosional yang dipaksakan oleh masyarakat. Sementara Adam percaya bahwa cinta adalah kekuatan universal yang tak terelakkan, yang melampaui pemahaman rasional.
Shana duduk tegak di meja kecil di sudut kedai teh favoritnya, sementara Adam duduk di seberangnya dengan senyuman misterius di wajahnya. Mereka telah lama terjebak dalam perdebatan yang mendalam tentang hakikat cinta dan teori-teori filsafat yang terkait dengannya.
Shana dengan tegas mengatakan, “Cinta itu hanya ilusi, Adam. Menurut pandanganku, cinta hanyalah hasil dari rangsangan kimia dalam otak kita. Itu hanyalah perasaan sementara yang membuat kita terjebak dalam kebahagiaan palsu. Akhirnya, semua itu akan berakhir, dan kita akan kembali pada kenyataan yang pahit.”
Adam tersenyum dan menjawab, “Tapi, Shana, apakah cinta hanya sekadar reaksi biologis semata? Menurut pandangan Søren Kierkegaard, seorang filsuf eksistensialis, cinta adalah keputusan yang diambil oleh individu dengan penuh tanggung jawab. Itu bukan hanya tentang perasaan, tetapi juga tentang komitmen dan pengorbanan.”
Shana menatap Adam dengan tatapan skeptis. “Tapi apa yang kamu ketahui tentang cinta? Bagaimana kamu bisa yakin itu nyata? Bukankah itu hanya sesuatu yang kita ciptakan dalam pikiran kita sendiri?”
Adam dengan tenang menjawab, “Shana, menurut Martin Heidegger, seorang filsuf fenomenologi, cinta adalah cara kita berada di dunia bersama dengan orang lain. Melalui cinta, kita mengalami keterhubungan yang mendalam dengan sesama manusia dan dengan alam semesta. Cinta itu nyata, dan kita bisa merasakannya.”
Percakapan mereka terus berlanjut dengan intensitas yang meningkat. Shana menggunakan argumen-argumen dari filsuf seperti Jean-Paul Sartre dan Friedrich Nietzsche untuk membantah pandangan Adam. Sementara Adam membangun argumen-argumen yang didasarkan pada teori cinta dari Immanuel Kant dan Simone de Beauvoir untuk mempertahankan keyakinannya.
Debat mereka menjadi semakin panas dan emosional. Mereka saling melemparkan kutipan-kutipan filsafat yang relevan dan mengajukan pertanyaan-pertanyaan yang memperdalam pemahaman mereka tentang cinta. Shana mulai merasakan adanya ketidaksesuaian antara pemikirannya dan perasaannya yang sebenarnya.
Dalam momen puncak debat, Shana tiba-tiba terdiam. Dia merenung sejenak, membiarkan kata-kata Adam meresap ke dalam pikirannya. Kutipan Albert Camus tentang cinta sebagai “kehidupan yang dirasakan dan dihadapi secara bersama-sama” terlintas dalam pikirannya.
Shana terhenyak. Sekelebat bayangan tentang kehidupan keluarganya yang merupakan broken home mencuat. Mungkin itulah sebabnya ia menjadi skeptic dengan perasaan. Karena ia tak merasakan kebersamaan yang indah dalam sebuah keluarga. Seruputan teh Adam lekas menyadarkan Shana dari ketermenungan singkatnya.
“Adam,” ucap Shana dengan suara lirih, “mungkin aku harus membuka hatiku untuk kemungkinan bahwa cinta memang lebih dari sekadar teori. Mungkin ada sesuatu yang harus aku rasakan dan alami sendiri, seperti yang disampaikan oleh Jean-Paul Sartre tentang kebebasan dan eksistensi.”
Adam tersenyum puas, merasa bahwa dia telah berhasil membuka sedikit ruang dalam hati skeptis Shana. Mereka berdua mengakhiri debat mereka dengan saling berjanji untuk menjelajahi hakikat cinta dengan pikiran yang terbuka.
“Kita hanya perlu menciptakan kisah yang tepat, Shana” kata Adam sembari menyeruput White Tea dari pucuk daun teh pilihan.
*tulisan ini merupakan versi ringkas