Oleh: Entang Sastraatmadja
Setiap bangsa di muka bumi, memang tidak boleh main-main dengan urusan beras. Langkah Pemerintah untuk meningkatkan produksi dan produktivitas padi menuju Swasembada, benar-benar cukup tepat untuk ditempuh. Kita butuh ketersediaan beras yang cukup. Sebab, selain beras merupakan sumber penghidupan dan sumber kehidupan masyarakat, ternyata beras pun dapat menentukan mati hidup nya suatu bangsa. Beras adalah segala nya. Tanpa beras identik dengan tanpa kehidupan.
Dalam beberapa tahun belakangan, produksi beras di dalam negeri terlihat cukup mengkhawatirkan. Disamping semakin membabi-buta nya alih fungsi lahan pertanian ke non pertanian, sektor pertanian padi sekarang ini, terlihat semakin kurang diminati oleh para petani di perdesaan. Minat petani untuk berbudidaya padi, tampak semakin mengendor. Gairah menanam padi, seperti yang kalah greget dengan komoditas pangan non beras. Sebagian dari mereka, lebih tertarik untuk menggarap komoditas hortikultura. Bukan saja secara ekonomis lebih menguntungkan, tapi dilihat dari prospek nya pun lebih menjanjikan.
Badan Pusat Statistik (BPS) merilis, luas panen padi tahun 2021 turun 2,3% atau 245,47 ha menjadi sekitar 10,41 juta ha dibandingkan tahun 2020 yang mencapai 10,66 juta ha. Akibatnya, produksi padi tahun 2021 turun 0,43% atau 233,91 ribu ton menjadi 54,42 juta ton gabah kering giling (GKG) dibandingkan tahun 2020 yang sebanyak 54,65 juta ton GKG.
Konsekuensi nya, produksi beras pada 2021 untuk konsumsi pangan penduduk mencapai 31,36 juta ton. Susut sebanyak 140,73 ribu ton atau 0,45% dibandingkan produksi beras di 2020 yang sebanyak 31,50 juta ton.
Dwi Andreas (2022), Guru Besar IPB menyatakatan, sejak tahun 2015 sampai 2021, produksi padi terus turun, mencapai 0,35% per tahun. Tahun 2017, produksi turun tajam sampai 7,7% di tahun 2019. Bahkan saat La Nina, produksi tahun 2020 hanya naik 0,09% dan turun 0,42% di tahun 2021. Hal itu terjadi karena dipicu 2 hal. Pertama, rumah tangga beralih ke sumber pendapatan lain karena bertani tak lagi menguntungkan.
Lahannya dijual, lalu terjadi konversi jadi lahan nonpertanian. Kedua, petani ya sudah menyerah, pasrah hidup sekadarnya saja mereka itu. Menanam padi cuma buat mengamankan stok konsumsi mereka saja.
Turun nya produksi padi yang demikian, tentu tidak boleh dibiarkan berlangsung terus menerus. Banyak nya penggerusan lahan pertanian karena tekanan penduduk yang memerlukan perumahan dan pemukiman, sudah saat nya dikendalikan lebih baik lagi. Begitu pun dengan ada nya tuntutan pengembangan infrastruktur yang merampas banyal lahan sawah produktif, seperti untuk pembangunan bandara, pelabuhan, jalan tol, pengembangan kereta api cepat dan lain sebagai nya.
Kebijakan pencetakan sawah yang diharapkan dapat menjadi solusi untuk menjawab terjadi nya alih fungsi lahan pertanian ke non pertanian, seperti nya masih belum memenuhi harapan yang diimpikan. Berdasarkan pengamatan yang dilakukan, pencetakan sawah yang ditempuh Pemerintah, terekam lebih banyak gagal ketimbang keberhasilan nya. Memcetak sawah, jelas tidak sama dengan mencetak kue bandros. Banyak syarat yang harus dipenuhi terlebih dahulu. Jangan harap program pencetakan sawah akan sukses, jika syarat esensial nya tidak dipenuhi.
Keengganan kaum muda perdesaan untuk berkiprah menjadi petani padi, boleh jadi merupakan tantangan lain yang perlu diperhatikan cukup serius. Bagaimana jadi nya negeri agraris, bila tidak ada lagi yang mau jadi petani? Pertanyaan kritis nya adalah mengapa kaum muda perdesaan lebih banyak yang tertarik untuk pergi ke perkotaan dari pada harus bercocok-tanam padi di desa nya ? Mengapa mereka lebih suka bekerja sebagai buruh harian lepas di kota, ketimbang harus berpanas-panasan di sawah ladang ?
Di sisi lain, ada juga pandangan yang menyatakan, 2063 Indonesia tanpa petani. Itulah intisari analisis pejabat Bappenas terkait dengan wajah pertanian di masa depan. 41 tahun ke depan, petani bakal menghilang dari bumi pertiwi. Bila hasil telaahan ini betul, maka mutlak dipikirkan bagaimana nasib negeri agraris tanpa petani? Apakah masih relevan Indonesia disebut sebagai negara agraris ?
Namun kalau analisa nya keliru, maka hal seperti ini bisa saja dijadikan “warning” atas perjalanan dan perkembangan pertanian itu sendiri. Tentu di dalam nya termasuk nasib dan kehidupan petani nya. Pertanyaan kritis nya adalah betulkah pada tahun 2063 petani akan menghilang dari negeri agraris ? Atau bisa saja yang menghilang itu hanya petani gurem atau petani buruh nya ?
Seperti yang kita kenali, paling tidak ada dua kategori terkait dengan petani di Tanah Merdeka ini. Pertama, yang disebut dengan “peasant” alias petani berlahan sempit. Kepemilikan lahan pertanian nya rata-rata 0,25 hektar. Mereka hidup sengsara dan penuh dengan penderitaan. Lahan yang digarap nya tidak memenuhi skala ekonomi.
Lebih parah nya lagi, mereka tengah terjebak dalam lingkaran setan kemiskinan yang tidak berujung pangkal. “Peasant” alias petani gurem di negara kita, jumlah nya cukup besar. Suasana kehidupan mereka yang memprihatinkan menuntut kepada kita untuk merubah nya. Kita berkewajiban untuk menggeser kegureman nya.
Kedua yaitu mereka yang disebut “farmers”. Mereka memiliki lahan pertanian sedikit nya 1 hektar. Kondisi kehidupan nya terekam lebih baik dibandingkan “peasant”. Jumlah mereka relatif kecil dibandingkan dengan petani gurem. Di beberapa daerah, keberadaan nya menjadi panutan, khusus nya dalam membantu menyebarkan inovasidan teknologi bagi petani gurem.
Diantara kedua katagori diatas, di perdesaan kita temukan pula yang disebut dengan petani buruh, yakni mereka yang sama sekali tidak memiliki lahan pertanian untuk dijadikan garapan nya. Mereka hidup dari berburuh, khusus nya membantu “farmers” yang membutuhkan tenaga nya. Digabung dengan petani gurem, maka jumlah mereka merupakan bagian terbesar dari petani di negeri ini.
Lebih besar nya jumlah “peasant” dibandingkan “farmers”, menjadikan mereka sebagai kantong-kantong kemiskinan di Indonesia. Jumlah orang miskin di negara kita, ternyata diwakili oleh mereka yang tersebar di pelosok-pelosok perdesaan. Mereka inilah yang sering divonis sebagai korban pembangunan. Mereka hidup hanya sekedar untuk menyambung nyawa, tanpa memiliki harapan yang lebih baik.
Produksi beras di dalam negeri, umum nya dihasilkan oleh para petani gurem atau petani berlahan sempit lain nya. Mereka inilah yang secara nyata menggarap sawah di lapangan. Oleh karena nya, kalau sekarang terekam ada nya keengganan sebagian besar kaum muda untuk menjadi petani padi, tentu hal ini merupakan “lampu kuning” bagi produksi beras nasional. Akibat nya, produksi beras bakal terganggu. Bahkan bisa saja akan melahirkan krisis beras.
Disodorkan pada kondisi yang demikian, ada baik nya kita mulai bersiap diri. Kita harus berupaya keras agar krisis beras tidak terjadi di negeri ini. Kita harus berjuang habis-habisan agar produksi beras secara nasional mampu meningkat secara signifikan. Pengejaran swasembada beras perlu terus dilakukan. Kita tidak boleh kendor melakoni nya. Sekali nya kita lengah, boleh jadi krisis akan menyergap. Ayo kita hadang krisis beras dengan penuh kehormatan dan tanggungjawab.
Penulis merupakan Ketua Harian DPD HKTI Jawa Barat