Opini  

Pemerintah Harus Mencabut Kebijakan Memiskinkan Petani

Oleh: Wayan Supadno

Pengalaman adalah guru terbaik. Pengalaman adalah pemberi ilmu hikmah yang sangat berharga untuk menyempurnakan pada langkah berikutnya. Seperti yang diajarkan oleh Luqman Al Hakim, hal ilmu hikmah. Di dalam Kitab Suci.

Demikian juga krisis sawit makin mendorong jutaan kepala keluarga masuk jurang dalam bernama kebangkrutan, bukan makin baik. Menandakan tidak tahu masalahnya, lalu tidak tahu solusi cepatnya. Memilukan. Sangat memprihatinkan.

Ingat, kisah nyata petani tebu bubar pada jadi TKI, akibat gagal pembinaan oleh pemerintah. Dampaknya tahun 1930 negeri ini produsen gula terbesar ke 2 dunia, saat ini justru jadi importir gula terbesar di dunia. Diagonalis negatif turun drastis dramatis, tak ubahnya bawang putih, sapi, kedelai dan lainya.

Saat ini, petani dan pekerja industri sawit 17 juta KK. Ibaratnya, nampak di kelopak mata bagai “Gelombang Tsunami” lagi menuju ke keluarganya. Akibat dari pemerintah tidak menahan diri. Tidak tahu diri. Mereka petani “Insan Kreatif Produktif” sudah berbuat untuk negerinya. Jangan diambil haknya lewat pajak ekspor berlebihan besarnya.

Makin parah. Stok CPO 7,2 juta ton saat ini, naik dari 6,1 juta ton (Gapki). Pemerintah sepertinya belum tahu neraca CPO. Belum menerapkan manajemen PPIC (Production Planning and Inventory Control). Kedua hal ini mutlak harus dikuasai, jika tidak maka makin sulit karena terkunci.

Harga TBS Rp 1.000/kg, tanda seolah pemerintah tidak menguasai harga pokok produksi (HPP) dan rantai pasok di lapangan riilnya. Dampak dari HET migor Rp 14.000/liter. Ini ” Angka Keramat Mematikan Petani “. Pertanda pembuat kebijakan tanpa punya data fakta lapangan harga pokok produksi (HPP).

Besarnya pajak pungutan ekspor DMP DPO seolah pemerintah tidak sadar itu mencekik petani. Jika saat US $ 588/ton. Plus ongkir ekspor bukan US $ 75 tapi US $ 300. Total US $ 888/ton. Setara Rp 13,3 juta/ton CPO. Jika jadi TBS rendemen 20% setara Rp 2.660/kg TBS.

Karena beban berat itu semua, eksportir malas kerja. Kalaupun mau, risiko tambahan dibebankan ke harga petani. Ujungnya petani juga sebagai ruas hulu. Petani jadi korban Rp 600/kg jauh dari janji minimal Rp 3.000/kg. Habis untuk ongkos panen. Artinya pemerintah tidak tahu HPP dan mekanisme pasar riil di lapangan.

Padahal bijaknya, kebijakan makro wajib punya dasar telaah staf pra keputusan. Basis data fakta lapangan. Prosedur normatif inilah yang selalu diajarkan oleh begawan ilmu manajemen sejak ratusan tahun lalu. Termasuk filsuf legendaris ekonomi modern yaitu Adam Smith tahun 1700 dari Skotlandia.

Solusinya?

  1. Kuasai HPP, rantai pasok dan mekanisme pasar apa adanya data lapangan. Bukan ilusi apalagi ngarang – ngarang. Sebagai dasar pola pikir memetakan masalah sesungguhnya. Agar dapat solusi cepatnya yang jitu. Jutaan petani butuh kepastian aman pangan keluarga bukan janji tiap hari demi hari tiada bukti.
  2. Sesuai Instruksi Presiden Jokowi, kuras stok CPO 6,1 juta ton. Caranya minimal 6 juta ton pada Agustus 2022 agar sisa 1,2 juta ton CPO. Agar tidak makin menumpuk lagi. Karena diprediksi Agustus mulai panen raya minimal 5 juta ton CPO/bulan sejak Agustus bulan depan. Caranya cabut dulu DMO, DPO, PE, BK asal dapat PPN dan devisa saja dulu.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *