Oleh : Entang Sastraatmadja
Dalam buku “Yang Berlimpah dan Yang Merana” Karya Joost Kuintebrower sekitar tahun 1980-an menyatakan, adanya perubahan lingkungan strategis yang semakin cepat membuat kesenjangan antara negara kaya dengan negara miskin. Ketimpangan ini bakal semakin menjadi-jadi manakala negara-negara miskin tidak mau untuk melakukan perubahan dirinya sendiri. Itu sebabnya, tidak bisa tidak, negara-negara miskin atau negara berpenghasilan menengah perlu bangkit untuk merubah nasib agar mereka dapat menjadi negara kaya.
Sebetulnya, di dunia ini tidak ada satu pun negara yang bebas dari kemiskinan. Di negara-negara kaya pun seperti Amerika Serikat, kemiskinan masih saja menyergap sebagian warga masyarakatnya. Apalagi di negara-negara berpenghasilan menengah atau negara-negara miskin. Kemiskinan dan kelaparan tampak mewarnai perjalanan pembangunan yang dilakoninya. Kemiskinan identik dengan borok pembangunan yang harus diselesaikan hingga tuntas. Inilah salah satu pertimbangannya, mengapa perang melawan kemiskinan harus terus dilakukan.
Memang banyak kriteria yang dipersepsikan orang terhadap kemiskinan. Ada yang disebut kemiskinan alamiah. Ada yang mendefinisikan dengan kemiskinan struktural. Ada juga kemiskinan akhlak. Dan lain sebagainya. Hanya, kalau kita kaitkan dengan pendekatan sosial-ekonomi, maka yang sering dijadikan perbincangan adalah “natural poverty” dan “structural poverty”. Ke dua jenis kemiskinan ini tampak secara transparan dalam kehidupan sehari-hari. Dari sinilah kemudian lahir yang disebut dengan para penikmat pembangunan dan para korban pembangunan.
Kelompok masyarakat yang tergolong ke dalam korban pembangunan inilah yang lebih banyak terjebak dalam suasana hidup miskin. Di negara kita, kemiskinan bukanlah sebuah kondisi kehidupan yang pantas untuk dibanggakan. Jangan sekali pun kita merasa bahagia kalau menyaksikan ada sebagian warga bangsa yang sangat kesusahan dalam menyambungnyawa kehidupannya. Sebaliknya, kita harus trenyuh dan bertekad bulat untuk menghapuskan kemiskinan hingga ke akar-akarnya. Kita wajib hukumnya untuk menenggelamkan kemiskinan dan menggantinya dengan kehidupan yang lebih sejahtera.
Di masa Pandemi Covid-19 yang sampai sekarang masih menghantui kehidupan masyarakat, banyak warga bangsa yang semakin terpuruk kehidupannya. Pertumbuhan ekonomi yang tidak sesuai dengan target, membuat angka pengangguran semakin meningkat, daya beli rakyat semakin melorot dan harga mulai merangkak naik. Sungguh memilukan, harga-harga bahan pangan strategis pun semakin tidak mampu dikendalikan Pemerintah. Terlebih-lebih menjelang bulan Ramadhan dan Hari Raya Idul Fitri.
Yang cukup membingungkan, menjelang kenaikan harga, biasanya bahan pangan tersebut menghilang dari pasaran. Setelah harganya naik, baru barang tersebut berlimpah di tengah-tengah kehidupan sehari-hari. Fenomena minyak goreng yang baru saja terjadi, menggambarkan ketidak-mampuan Pemerintah dalam “mengelola” minyak goreng ini. Pemerintah terekam tidak mampu menerapkan pendekatan deteksi dini. Sedihnya lagi, Pemerintah pun tidak mampu menjadi “pemadam kebakaran” yang baik.
Berbagai kebijakan untuk mengendalikan minyak goreng tampak tidak ada yang ampuh. Operasi pasar yang digelar berkali-kali pun tidak mampu meredam gejolak minyak goreng. Akibatnya, tak terelakan antrian ibu-ibu terjadi di banyak daerah. Mereka menuntut agar negara hadir di tengah-tengah kesusahannya. Jeritan emak-emak pun seperti tidak ada yang mendengar. Begitulah tragedi minyak goreng mewarnai kehidupan bangsa ini. Sebuah suasana yang memilukan dan memalukan. Kalau saja kita mampu melakukan tata kelola minyak goreng dengan cerdas, hal yang baru saja kita alami, mestinya tidak perlu terjadi.
Tidak hanya minyak goreng. Daging sapi pun terekam mengalami kelangkaan dan kenaikan harga yang cukup signifikan. Daging sapi yang semula Rp 100 ribu per kilogram, kini naik menjadi Ro 130 ribu per kilogram. Beberapa pedagang malah menengarai menjelang bulan ramadhan tiba, harga daging sapi bisa menembus angka Rp 150 ribu per kilogramnya. Catatan kritisnya adalah ada apa dengan semuanya ini? Kemana saja Pemerintah? Mengapa negara seperti yang enggan hadir di tengah-tengah kesusahan warga bangsanya?
Yang cukup mengherankan, betapa teganya Pemerintah, ditengah-tengah penderitaan rakyat malah menggelontorkan dana trilyunan rupiah hanya untuk menyelenggarakan acara balap motor? Pemerintah memang tidak dilarang untuk menyelenggarakan perhelatan balap motor tingkat dunia. Hanya penting dicatat, jangan lupakan kesusahan rakyat dalam memenuhi kebutuhan bahan pangan pokoknya. Apakah tidak ada cara yang lebih baik dalam menangani kelangkaan minyak goreng ini? Bukankah akan lebih baik, jika Pemerintah mampu menyediakan minyak goreng tanpa harus menaikan harga di pasar dengan persentase kenaikan yang cukup memberatkan rakyat?
Negeri ini memiliki sumber daya yang melimpah. Semuanya itu, tampak dengannyata di hadapan kita. Penyebutan “negara agraris” atau pun “negara maritim”, pada intinya ingin menunjukkan kepada warga dunia, bahwa Tanah Merdeka ini sangat berlimpah dengan sumber daya pertanian dan sumber daya kelautan. Bahkan seniman sekaliber Koes Plus pun sempat menggambarkan kesuburan tanah air kuta dengan menyatakan “tongkat dan kayu pun jadi tanaman”. Artinya, kalau kita tidak mampu menghasilkan minyak goreng untuk mencukupi kebutuhan warga masyarakatnya, pasti ada yang keliru dalam pengelolaannya.
Yang menarik untuk dijadikan bahan perenungan kita, ternyata masalah yang dihadapi, bukan hanya berkaitan dengan minyak goreng, tapi kesusahan pun dirasakan oleh para perajin tahu dan tempe, tatkala harga kedele impor dari Anerika Selatan merangkak naik secara signifikan. Lucunya, hal yang demikian selalu terulang setiap tahunnya. Kalau Pemerintah betul-betul menekuni apa yang menjadi akar masalahnya, mestinya hal semacam ini tidak perlu terjadi. Solusinyatanya kita harus serius dalam meningkatkan produksi kedele dalam negeri dengan kualitas yang tidak kalah hebatnya dengan kedele impor.
Masalahnya adalah apakah kita memiliki kemampuan untuk menghasilkannya ? Atau kita akan menyerah dan berpangku-tangan saja sambil menunggu datangnya masalah yang sama di tahun berikutnya ? Ah, seharusnya tidak. Alasan budidaya kedele ini hanya cocok untuk di tanam di daerah sub tropik, tentu jangan terus-terusan dijadikan alibi ketidak-becusan kita dalam mengembangkan budi daya kedela. Dengan seabreg kewenangan yang dimilikinya, Pemerintah dapat menugaskan para peneliti dan pemulia tanaman untuk serius menghasilkan kedele yang diinginkan para perajin tahu dan tempe.
Inilah sebetulnya tantangan yang butuh jawabannyata. Namun begitu, jangankan untuk menghasilkan kedele yang memiliki kualitas seperti kedele impor, keinginan untuk meraih Swa Sembada Kedele pun, hingga sekarang masih susah untuk diwujudkan. Swa Sembada Kedele lebih mengemuka sebagai penghias pidato para pejabat ketimbang fakta di lapangan. Padahal, tidak sedikit anggaran yang dikucurkan Pemerintah untuk menggapai kemauan politiknya tersebut.
Keheranan banyak pihak adalah ada apa sebetulnya dengan budidaya kedele di negeri ini ? Pada kemana para peneliti dan pemulia tananan kedele? Mengapa begitu lama mereka menghasilkan kedele dalam negeri yang kualitasnya sama dengan kedele impor ? Kalau memang tidak mampu, apa ada tananan pengganti kedele yang dapat dijadikan bahan dasar untuk membuat tahu atau tempe ? Bagaimana dengan tanaman koro pedang yang saat ini banyak dikampanyekan oleh berbagai kalangan sebagai tanaman pengganti kedele untuk dijadikan bahan dasar tahu dan tempe?
Banyak pekerjaan rumah yang masih harus kita garap. Belum lagi soal langkanya gula pasir di pasaran menjelang ramadhan tiba. Menjelang Hari Raya Idul Fitri, Pemerintah sebaiknya mampu menyiapkan banyak jurus ampuh, agar pil pahit minyak goreng tidak terjadi untuk bahan pangan lain. Kita percaya Pemerintah memiliki kemampuan untuk mengatasinya. Ini penting, agar kita tidak menjadi bangsa yang semakin merana.