Benanusa.com, Jambi – Kasus dugaan penguasaan tanah yang tidak sah oleh sejumlah oknum yang berpedoman dengan SK Gubernur masih berlanjut. Mangara Siagian sebagai salah satu pihak yang menguasai tanah dimaksud pun buka suara.
Saat dikonfirmasi, Mangara yang mengaku sedang dalam perjalanan ke Mabes Polri bersikukuh bahwa tanah tersebut adalah miliknya.
“Pertama untuk kepastian hukum Bapak sebagai insan pers silakan klarifikasi ke Kantor Gubernur. Kedua, di atas tanah yang disoalkan masyarakat sudah ada 3 putusan Pengadilan Negeri Kuala Tungkal dan 2 Putusan Mahkamah Agung, artinya secara hukum sudah ada putusan yang berkekuatan hukum tetap. Ketiga, tanah tersebut sudah 4 kali di ukur oleh Mantan TANJAB Barat. Atas permintaan Polresta Jambi, Polres Tanjung Jabung Barat, Gubernur Jambi dan oleh Kantah Tanjab Barat sendiri, artinya sudah jelas kepemilikan tanahnya. Ke empat SK Gubernur 67 Tahun 1990 ada riwayat nya untuk siapa tanah diberikan ada didalam isi SK itu,” ujar Mangara Siagian pada Senin, 22 Mei 2023 siang.
Mangara menuding, ada pihak-pihak yang menurutnya menggunakan masyarakat untuk mengusai tanah yang ia akui sah sebagai miliknya. “Kelima, masyarakat jangan digunakan untuk alat menguasai tanah yang sudah ada alas haknya apalagi sudah 32 tahun barulah dipermasalahkan,” katanya melanjutkan.
“Keenam, demo Minggu 21 Mei 2023 merusak portal saya. Bahkan, ada Pak Kades sama Mike Mariana Siregar masuk tanpa izin ke dalam tanah milik kami. Karena Bapak di sana maka saya beritakan ke Bapak demo anarkis ini sudah saya lapor ke Bapak Kapolri,” ujarnya.
Padahal, pada saat peristiwa aksi masyarakat Desa Dusun Mudo berlangsung dengan damai pada Minggu, 21 Mei 2023 Mangara tidak berada di tempat.
Saat dikonfirmasi, Mangara diduga terkesan menuding media ini tidak menyampaikan kebenaran versinya. Ia pun mengintervensi dan mengancam untuk melaporkan ke Dewan Pers sembari menyampaikan pernyataannya.
“Masyarakat jangan sembarangan klaim dengan aksi-aksi demo, kalau mau klaim silakan cabut dulu SK itu. Tanyakan ke Kantor Gubernur,” tuturnya.
Lebih lanjut mengenai dasar hukum satu-satunya yang dijadikan sebagai alas hak oleh Mangara – SK Gubernur nomor 67 tahun 1990 – diduga tidak dijalankan sebagai mestinya.
Dari berkas yang diberikan oleh Mangara, pada bagian Keputusan menyebutkan salah satunya ialah lahan tersebut semestinya digunakan sebagai lahan Perkebunan Karet. Namun ternyata, 2 tahun setelah terbit SK tersebut lahan tersebut ditanami dengan kelapa sawit.
Selain itu, beberapa poin keputusan dalam SK perlu didalami lebih lanjut, yang diduga kuat tidak dilaksanakan dengan baik. Sehingga, semestinya SK tersebut tidak dipatuhi dan sudah batal demi hukum.