Tidak terasa, 29 Juli 2022 Badan Pangan Nasional/National Food Agency genap berusia 1 tahun. Pada momentuk Hari Ulang Tahun ini, Badan Pangan Nasional akan melaunching Gerakan Penganekaragaman Konsumsi Pangan B2SA (Beragam, Bergizi, Seimbang dan Aman) pada tanggal 31 Juli 2022 di GBK, Senayan, Jakarta. Kita berharap launching ini akan membawa angin segar bagi pembangunan pangan di negeri ini, seusai Pemerintah “melahirkan” Badan Pangan Nasional lewat Perpres No. 66 Tahun 2021 tanggal 29 Juli 2021.
Ditelisik lebih dalam, dari 3 Deputy yang ada di Badan Pangan Nasional, ternyata Deputy Penganekaragaman Konsumsi dan Keamanan Pangan merupakan posisi yang cukup menantang dan sangat membutuhkan ketelatenan dalam menggarapnya. Ini penting dicatat, karena semangat untuk meragamkan pola makan masyarakat agar tidak bergantung kepada satu jenis bahan pangan pokok, yakni beras, telah dirintis sejak 65 tahun lalu.
Ironisnya, seiring dengan berjalannya waktu, ketergantungan masyarakat terhadap nasi, bukannya menjadi semakin berkurang, tapi tetap saja jalan ditempat. Malah di beberapa daerah memperlihatkan peningkatan yang cukup signifikan.
Di sisi lain, kita juga tahu persis, upaya mengerem laju konsumsi beras, telah sering ditempuh oleh Pemerintah. Para pengambil kebijakan di negeri ini, siapa pun yang diberi mandat untuk mengelola bangsa ini, telah sepakat ketergantungan kepada nasi harus dihentikan.
Diversifikasi pangan perlu terus dilakukan. Apalagi kalau hal ini kita kaitkan dengan banyaknya jenis bahan pangan karbohidrat non beras, yang tersedia di sekitar kita. Kita punya jagung, singkong, umbi-umbian, sagu, sorgum, ganyong, sukun, garut dan lain sebagainya.
Atas hal yang demikian, perlu dipertanyakan apa kabar program diversifikasi pangan di negeri ini? Kita akan kecewa berat bila jawabannya “baik-baik” saja. Mengapa? Salah satu sebabnya, karena kalau kita boleh bicara jujur, langkah Pemerintah untuk melaksanakan program diversifikasi pangan ini, tampak seperti angat-angat tahi ayam.
Diversifikasi Pangan sudah bukan waktunya dikemas dalam bentuk keproyekan. Namun, sesuai dengan tuntutan yang ada, program ini sepatutnya dikemas lewat sebuah gerakan. Selain itu, penting dipertegas pula siapa yang akan membawa “pedang samurai”nya di lapangan. Samurai, atau dalam bahasa Jepang disebut bushi atau buke, adalah bangsawan militer abad pertengahan dan awal-modern negara Jepang. Banyak orang yang salah menafsirkan tentang samurai.
Kebanyakan orang menganggap samurai adalah sebuah pedang.nyatanya, samurai ialah prajurit militer kelas elit pada masa praindustri di Jepang. Sementara pedang yang samurai pakai sebagai senjata disebut katana. Pembelajaran terhadap sejarah Samurai ini menjadi penting kita cermati, karena dari apa yang kita pahami, banyak pengalaman dan nilai-nilai kejuangan yang dapat kita pelajari.
Samurai atau bisa juga disebut pasukan khusus kerajaan Jepang pada jamannya betul-betul memberi keteladanan dalam menjaga idealisme, nasionalisme dan patriotisme suatu bangsa. Hal seperti ini, mestinya mampu merasuk ke dalam relung nurani kita selaku bangsa. Kita perlu mengutamakan pembangunan pangan dan jangan sekali pun kita bermain-main dengan urusan diversifikasi pangan.
Selama ini banyak program yang digelindingkan Pemerintah. Kita sering saksikan, program-program tersebut sangat ditentukan oleh kebijakan siapa yang sedang memegang kekuasaan. Akibatnya, kita sering pula mendengar tudingan bahwa setiap ganti penguasa maka berganti juga kebijakan dan program-program pembangunan. Setiap pejabat baru selalu ingin tampil beda dengan yang sebelumnya, sekali pun hanya berganti “casing” belaka.
Gambaran yang demikian, mestinya tidak perlu melestari dalam kehidupan berbangsa, bernegara dan bermasyarakat di negara kita. Kita harus mulai bersikap jujur dan penuh dengan rasa bijak dalam menilai suatu program. Tidak semua kebijakan atau program di masa lalu itu buruk seluruhnya. Tentu ada juga yang baiknya. Yang baik-baiknya inilah yang perlu dilanjutkan dengan beberapa penyesuaian seiring dengan perjalanan waktu. Keberlanjutan program ini penting, karena kita akan dapat mengukur keberhasilan dari yang selama ini direncanakan.
Dari segudang kebijakan yang digulirkan, ternyata program diversifikasi pangan, belum mampu memberi jawaban yang diharapkan. Kita sangat tidak puas dengan apa yang kita rasakan selama ini. Kita malah diberi kesan bahwa program diversifikasi pangan ini tak ubahnya dengan program yang sifatnya “angat-angat” tai ayam. Dengan kata lain dapat juga disebutkan, sekali pun program ini telah digulirkan sekitar 60 tahun lamanya, rupanya masyarakat belum sungguh-sungguh.
Berkaca pada fenomena yang ada, terutama dalam rangka mendampingi, mengawal, mengawasi dan mengamankan program diversifikasi pangan ini, sebaiknya ditentukan siapa yang akan menjadi pemegang pedang samurainya. Perlu kejelasan dan ketegasan siapa yang akan menjadi “prime mover” penyelenggaraan program diversifikasi pangan di lapangan.
Sebelum dibubarkan Presiden di penghujung tahun 2020 kita masih berpikir, apakah kita akan mengacu kepada Perpres 83/2006, yang dalam regulasi ini telah ditetapkan bahwa Presiden, Gubernur dan Bupati/Walikota merupakan Ketua Dewan Ketahanan Pangan sesuai dengan tingkatannya masing-masing.
Sekarang, setelah Dewan Ketahanan Pangan dibubarkan, siapa sesungguhnya yang akan menjadi simpul koordinasi? Di Pusat, memang telah diterbitkan Perpres No. 66 Tahun 2021 tentang Badan Pangan Nasional. Tapi, bagaimana dengan di Daerah? Inilah yang membutuhkan penataan lebih dalam lagi.
Atau mereka akan menunjuk seseorang untuk membawa pedang samurainya itu? Di tingkat Pusat, Kepala Badan Pangan Nasional, boleh saja mengangkat salah saorang Deputynya. Di daerah bisa Wakil Gubernur. Bisa juga Wakil Bupati/Walikota. Sekda juga boleh atau Kepala SKPD. Yang menarik untuk dibahas adalah apakah suatu hal yang memungkinkan bila pembawa pedang samurai ini diserahkan kepada anggota kelompok kerja Dewan Ketahanan Pangan, yang rata-rata berangkat dari Kampus, LSM, Profesional, Pengusaha dan lain sebagainya.
Kebijakan untuk menunjuk seseorang menjadi penerima pedang Samurai dalam program diversifikasi pangan, rupanya belum pernah digarap dengan serius. Selama ini yang sering kita saksikan di lapangan, pengelola program ini lebih suka menjalankan program atau kegiatannya berangkat dari semangat gugur kewajiban an sih.
Istilah “gugur kewajiban”, seringkali mengemuka ketika ada orang yang bekerja apa adanya. Tidak ada kreativitas. Tidak ada inovasi. Bahkan inisiatif untuk melahirkan terobosan pun tidak pernah terpikirkan di benaknya. Dirinya bekerja hanya sekadar untuk melaksanakan tugas dan fungsi sebagaimana yang ditetapkan dalam tata kerja dan prosedur yang berlaku.
Ini yang tidak betul. Diversifikasi pangan adalah program multi-sektor yang harus digarap berdasar prinsip sinergitas dan kolaborasi. Sisi perencanaan, pelaksanaan, pengawasan dan advokasi penting disiapkan secara sistemik, holistik dan komprehensif.
Tugas dan fungsi pembawa pedang samurai adalah memastikan dengan cerdas, apa-apa yang telah direncanakan akan dijaga dengan serius, penuh tanggungjawab dan rasa hormat.
Semoga gerakan diversifikasi konsumsi pangan akan lebihnyata di negeri ini, setelah ada yang diberi amanah untuk membawa pedang samurainya. Perjuangan meragamkan pola makan rakyat adalah proses yang cukup lama dan butuh ketelatenan dari mereka yang menggarapnya.
Penulis merupakan Ketua Harian DPD HKTI Jawa Barat