Netralitas Aparatur Negara dalam Pemilu dan Kecurangan Pemilu

*Oleh: Lyany Cristin Banurea (B1B221058)

Netralitas aparatur negara dalam pemilu merupakan salah satu pilar utama dalam mewujudkan pemilu yang demokratis dan kredibel. Aparatur negara, termasuk Pegawai Negeri Sipil (PNS), TNI, Polri, dan pejabat publik, memiliki peran strategis dalam menjaga stabilitas politik dan administrasi selama proses pemilu berlangsung. Namun, keterlibatan mereka dalam politik praktis, baik secara langsung maupun tidak langsung, dapat menimbulkan kecurangan dalam pemilu dan mencederai asas demokrasi.

Netralitas aparatur negara menuntut mereka untuk tidak berpihak kepada salah satu kandidat atau partai politik dalam pemilu. Netralitas ini diatur oleh berbagai peraturan, seperti Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2014 tentang Aparatur Sipil Negara (ASN), yang menyatakan bahwa ASN dilarang terlibat dalam politik praktis. Prinsip ini bertujuan untuk memastikan bahwa aparatur negara bekerja semata-mata untuk kepentingan publik tanpa intervensi politik. Tetapi pada kenyataannya berbeda. ASN justru tidak netral. Dimana masih terdapat asn yang melakukan Kampanye. Dan menjadi tim sukses

Kecurangan dalam Pemilu dan Dampaknya adalah Ketika netralitas aparatur negara dilanggar, risiko kecurangan dalam pemilu meningkat. Bentuk kecurangan yang melibatkan aparatur negara meliputi:

Mobilisasi birokrasi: Penyalahgunaan wewenang untuk mendukung salah satu kandidat, seperti penggunaan fasilitas negara untuk kampanye.

Manipulasi data pemilih: Intervensi dalam proses administrasi, seperti pengaturan daftar pemilih tetap (DPT) untuk menguntungkan pihak tertentu.

Tekanan pada pemilih: Aparatur negara dapat menggunakan posisinya untuk memengaruhi pilihan politik masyarakat.

Dampak dari kecurangan ini tidak hanya mencederai proses pemilu, tetapi juga mengikis kepercayaan publik terhadap lembaga negara dan sistem demokrasi.

Dalam perspektif politik, netralitas aparatur negara adalah cerminan dari birokrasi yang profesional dan berorientasi pada pelayanan publik. Birokrasi yang netral berfungsi sebagai “jembatan” yang menjaga stabilitas antara kepentingan politik yang bersaing dan kebutuhan masyarakat. Sebaliknya, birokrasi yang partisan menunjukkan politisasi lembaga negara, yang berpotensi menciptakan oligarki politik dan memperkuat ketimpangan kekuasaan.

Netralitas juga menjadi indikator kedewasaan demokrasi. Negara-negara dengan demokrasi yang matang cenderung memiliki sistem pengawasan yang efektif terhadap netralitas aparatur negara. Dalam konteks Indonesia, penguatan peran Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) dan Komisi Aparatur Sipil Negara (KASN) sangat penting untuk mencegah dan menindak pelanggaran netralitas.

Sehingga Netralitas aparatur negara dalam pemilu bukan hanya soal etika birokrasi, tetapi juga soal keadilan politik. Pelanggaran netralitas menjadi akar dari berbagai bentuk kecurangan yang merugikan demokrasi dan hak rakyat. Oleh karena itu, penguatan regulasi, pengawasan, dan sanksi tegas terhadap pelanggaran netralitas adalah langkah penting untuk menciptakan pemilu yang adil, jujur, dan bebas dari kecurangan.

Dengan menempatkan netralitas sebagai prioritas, Indonesia dapat membangun kepercayaan publik yang lebih kuat terhadap proses pemilu, sekaligus menjaga integritas demokrasi di tengah tantangan politik yang kompleks. (*)

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

error: Content is protected !!