Oleh: Entang Sastraatmadja
Mitigasi dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) diartikan sebagai tindakan mengurangi dampak bencana. Sedangkan krisis pangan sebagaimana yang dijelaskan dalam Undang Undang Pangan No. 18 Tahun 2012 adalah kondisi kelangkaan pangan yang dialami sebagian besar masyarakat di suatu wilayah yang disebabkan oleh, antara lain, kesulitan distribusi Pangan, dampak perubahan iklim, bencana alam dan lingkungan, dan konflik sosial, termasuk akibat perang.
Dampaknyata krisis pangan antara lain adalah terganggunya ketahanan pangan, yang jika tidak ditangani secara sungguh-sungguh, boleh jadi bakal melahirkan terganggunya kehidupan umat manusia di dunia. Disinilah diperlukan adanya penyelenggaraan pangan yang terukur dan akuntabel.
Hal ini patut dicatat, karena penyelenggaraan pangan adalah kegiatan perencanaan, pelaksanaan, dan pengawasan dalam penyediaan, keterjangkauan, pemenuhan konsumsi Pangan dan Gizi, serta keamanan Pangan dengan melibatkan peran serta masyarakat yang terkoordinasi dan terpadu.
Dengan kata lain, tujuan penting dari penyelenggaraan pangan adalah untuk mewujudkan swasembada, ketahanan, kemandirian dan kedaulatan pangan seperti yang diharapkan. Inilah sesungguhnya butir-butir pikiran penting yang tercantum dalam Undang Undang No. 18 Tahun 2012
Ketahanan pangan adalah kondisi terpenuhinya pangan bagi negara sampai dengan perseorangan, yang tercermin dari tersedianya pangan yang cukup, baik jumlah maupun mutunya, aman, beragam, bergizi, merata, dan terjangkau serta tidak bertentangan dengan agama, keyakinan, dan budaya masyarakat, untuk dapat hidup sehat, aktif, dan produktif secara berkelanjutan.
Terusik oleh hal yang demikian Bappeda Provinsi Jawa Barat mencoba merancang sebuah Focus Grup Diskusi dengan menampilkan Nara Sumber dari Badan Pangan Nasional, Perum BULOG Divre Jawa Barat, Badan Pusat Statistik Jawa Barat dan Dewan Pimpinan Daerah Himpunan Kerukunan Tani Indonesia Provinsi Jawa Barat. FGD berusaha mencari jawab atas menghangatnya perbincangan krisis pangan global yang akan memberi dampak hingga ke daerah.
Antisipasi untuk menghadapi krisis pangan, rupanya mengusik para pengambil kebijakan negara-negara produsen pangan guna nerumuskan solusi terbaiknya. Salah satunya mereka tentu bakalan menyelamatkan terlebih dahulu apa yang menjadi kebutuhan warga bangsa akan pangannya
Atas sikap yang demikian, negara yang selama ini menggantungkan kebutuhan bahan pangannya dari impor, tampaknya harus sudah mulai berjaga-jaga, sekiranya mereka menutup kran ekspornya.
Langkah membaca isyarat jaman menjadi penting, karena bila dicermati dengan seksama, perkembangan ketahanan pangan di banyak negara, sangatlah tidak mungkin mampu mengabaikan serbuan pandemi Covid 19. Prioritas yang mesti kita ambil adalah sampai sejauh mana kita mampu meningkatkan ketersediaan pangan berbasis produksi dalam negeri.
Mengacu pada fakta kehidupan yang ada, sebagian besar rakyat kita, masih menjadikan nasi sebagai makanan pokoknya. Menghadapi krisis pangan, ketersediaan beras yang cukup merupakan hal yang tidak dapat di tawar-tawar lagi. Kita harus berjuang sekuat tenaga untuk meningkatkan produksi dan produktivitas, sehingga mampu memperkuat posisi cadangan pangan nasional dan daerah
Ketidak-seriusan mewujudkan program diversifikasi pangan menjadi gerakan nasional yang berkelanjutan, boleh jadi merupakan kegagalan kita dalam meragamkan pola makanan masyarakat. Keinginan agar masyarakat mengurangi ketergantungannya terhadap beras dan menggantinya dengan karbohidrat non beras, terekam masih sekedar cita-cita.
Pemerintah terlihat belum memiliki jurus ampuh yang dapat merubah mind-set masyarakat terhadap makanan pokok ini. Masalahnya menjadi rumit manakala kita saksikan adanya kebijakan Pemerintah yang tojai’ah dengan semangat diversifikasi pangan ini. Kita masih ingat dengan adanya program beras untuk masyarakat miskin. Inilah blunder Pemerintah.
Kebijakan untuk merubah konsumsi dari pangan lokal seperti sagu di Maluku dan Papua, lalu jagung di Madura dan lain sebagainya, kepada beras, jelas hal ini merupakan tikaman dari dalam tatkala bangsa ini sedang bersemangat untuk mewujudkan spirit penganekaragaman ke arah kenyataannya. Akibatnya wajar bila kebijakan diversifikasi pangan pun ibarat ada dan tiada.
Sekali pun Badan Pangan Dunia (FAO) telah memberi “warning” akan adanya krisis pangan, bukan berarti kita harus terduduk lemas, namun sebagai bangsa pejuang, kita perlu tampil untuk mengantisipasinya. Kita harus selalu yakin bahwa krisis pangan bukanlah sebuah malapetaka kehidupan
Tapi bisa-bisa saja krisis pangan disebut sebagai dinamiks kehidupan. Bagi bangsa ini, pesan Bung Karno yang menegaskan bahwa “pangan adalah mati hidupnya suatu bangsa”, senantiasa bakal disimpan dalam lubuk hati paling dalam, guna dijadikan semangat untuk berjaga-jaga bila krisis pangan ini menjadi soal yang harus dicarikan solusi ny
Krisis pangan, bukanlah sesuatu persoalan yang harus ditakuti, melainkan perlu dijawab dan dicarikan solusi cerdasnya. Sebagai bangsa yang bercita-cita menjadi Lumbung Pangan Dunia pada 23 tahun mendatang, krisis pangan yang akan menyergap warga dunia, tentu akan diselesaikan berdasar pola “early warning” dan tidak lewat cara “pemadam kebakaran”.
*Penulis Merupakan Ketua Harian DPD HKTI Jawa Barat