Oleh: Entang Sastraadmadja*
Kesusahan, rupanya milik semua orang. Kesusahan bukan hanya terkait dengan soal kehidupan, namun kita pun seringkali merasa kesusahan tatkala akan memarkir mobil di tempat-tempat tertentu. Namun begitu, bila kita mendengar kata susah, umum nya akan berhubungan dengan soal kehidupan.
Kalimat “hidup susah” sepertinya telah menjadi kepunyaan semua orang. Kalau kita mau jujur-jujuran, hampir tidak ditemukan seorang pun yang tidak pernah merasakan hidup susah. Bahkan seorang Presiden Jokowi pun menyatakan pernah merasakan menjadi orang susah.
Suasana hidup susah, akan lebih banyak kita temukan di perdesaan ketimbang di perkotaan. Petani gurem dan petani buruh adalah contoh yang sangat relevan untuk dijadikan bahan analisis. Petani gurem dan Petani buruh, sudah sejak lama dihadapkan kepada kesusahan hidup.
Mereka sudah sangat teruji dan terlatih untuk hidup menderita. Di benak mereka, pembangunan yang telah berlangsung dalam 3 Orde ini, mulai Orde Lama, Orde Baru dan Orde Reformasi, belumlah mampu secara nyata membebaskan kehidupannya dari kondisi hidup susah.
Pembangunan yang dinilai bakal mampu menghapuskan kemiskinan, terlihat masih jauh dari yang diharapkan. Justru dengan ada nya pembangunan membuat tingkat kesenjangan antara golongan masyarakat menjadi semakin melebar. Indeks Gini Rasio masih cukup tinggi.
Data yang ada menyebut Rasio Gini masih diatas 0.35. Indeks ini mempertontonkan kepada tentang masih tingginya ketimpangan. Di satu sisi ada yang disebut sebagai para penikmat pembangunan, namun di sisi yang lain tampak masih ada warga bangsa yang layak disebut selaku korban pembangunan.
Kehebatan bangsa kita adalah antara penikmat dan korban pembangunan, terekam asyik-asyik saja dalam melakoni kehidupan nya. Keduanya tampak hidup berdampingan. Keduanya tidak pernah gontok-gontokan. Tidak pernah pula membuat keributan. Inilah barangkali wujud nyata dari kehidupan yang mengedepankan kebersamaan.
Mereka sadar betul, sekali pun mereka itu asyik sendiri-sendiri, tapi sekira nya terdengar ada nya ancaman yang ingin mengganggu keutuhan NKRI, maka setiap anak bangsa di negeri ini, bakal tampil bersama untuk melawan ancaman tersebut. Inilah salah satu kehebatan kaum tani yang tidak pernah mengeluh kepada Pemerintah ketika di dera masalah kehidupan pribadi atau pun keluarganya.
Presiden Jokowi, boleh jadi sebagai teladan sosok yang pernah merasakan jadi orang susah untuk kemudian berubah menjadi orang yang tidak susah. Catatan kritis yang dapat ditanyakan adalah apakah derajat kesusahan dalam mengarungi kehidupan nya mengalami perbedaan yang cukup signifikan?
Mana yang paling susah, apakah ketika masih mahasiswa dan kuliah di UGM, atau setelah lulus dan merintis jadi pengusaha mebel, atau ketika menjadi Walikota Solo, atau manakala menjadi Gubernur DKI Jakarta, atau ketika telah menjadi Presiden Republik Indonesia? Untuk mengetahui jawabannya, tentu hanya Pak Jokowi sendiri yang mampu menjelaskan nya.
Apa yang dialami Presiden Jokowi, pasti akan sangat jauh berbeda dengan Kang Cecep yang keseharian nya berprofesi sebagai buruh tani. Kang Cecep merupakan anak bangsa yang masih belum mampu merasakan nikmatnya pembangunan. Kondisi kehidupannya yang melarat membuat diri nya cukup sulit untuk berubah nasib.
Untuk menyambung nyawa kehidupan, Kang Cecep butuh perjuangan yang tidak mudah. Penghasilan dari berburuh tani sendiri terekam jauh dari memadai. Suasana kehidupan Kang Cecep sungguh memprihatinkan. Kang Cecep hanya mampu mengisi perut keluarga nya secara pas-pasan. Jauh dari kemewahan yang seringkali dipertontonkan oleh para penikmat pembangunan.
Di negeri ini, mesti nya tidak boleh ada warga bangsa yang hidup susah. Undang Undang Dasar 1945 telah menegaskan tujuan nasional kita diantara nya memajukan kesejahteraan umum. Hidup sejahtera adalah cita-cita mulia dari kemerdekaan yang kita raih. Hidup sejahtera, bukan hanya dirasakan oleh sebagian kecil warga bangsa.
Namun, segenap warga bangsa pun mestinya mampu merasakan nya. Pemerintah sebagai orang yang dipercaya rakyat untuk menjalankan kehidupan berbangsa, bernegara dan bermasyarakat, sudah sepatutnya bekerja lebih keras lagi, terutama dalam melahirkan suasana hidup sejahtera bagi segenap bangsa Indonesia.
Persoalannya, mengapa Pemerintah seperti yang kesulitan untuk mensejahterakan segenap warga bangsa nya. Mengapa yang nama nya hidup susah masih menyelimuti kehidupan sebagian besar warga bangsa ? Bahkan layak pula dipersoalkan apakah Pemerintah betul-betul serius ingin membebaskan kesusahan hidup masyarakat? Inilah yang penting untuk dijawab secara jujur dan rendah hati.
*Penulis merupakan Ketua Harian DPD HKTI Jawa Barat.