Terobosan Cerdas Perhutanan Sosial

Oleh : Entang Sastraatmadja*

Perhutanan Sosial sebagai kebijakan yang memiliki keinginan politik untuk memperceoat terwujudnya kesejahteraan masyarakat di sekitar hutan, tentu membutuhan langkah-langkah konkret untuk meraihnya. Kita tidak boleh lagi hanya berkurat di tataran teori. Namun, seiring dengan tuntutan jaman, kita pun ditantang untuk dapat menerapkan seabreg teori tersebut kedalam kegiatan riil di masyarakat, termasuk di dalamnya soal pengambilalihan kelola hutan itu sendiri.

Banyak tafsir yang dapat kita bahas terkait dengan istilah pengambilalihan. Dalam bisnis, pengambilalihan adalah pembelian satu perusahaan oleh perusahaan lain. Di Inggris, istilah ini mengacu pada akuisisi perusahaan publik yang sahamnya terdaftar di bursa saham, berbeda dengan akuisisi perusahaan swasta.  Andaikan semangat ini kita kaitkan dengan pengambilalihan lahan Perhutani untuk kepentingan yang lebih besar, maka pengambilalihan ini dapat dimaknai sebagai upaya untuk mengoptimalkan keberadaan lahan yang ada demi keperluan pembangunan.

Akhir Juli 2022, kembali kita dihangatkan oleh rilis Pemerintah terkait pengambil-alihan lahan Perum Perhutani oleh Pemerintah. Pro kontra berlangsung. Ada yang mendukung langkah yang diambil Pemerintah tersebut, namun ada juga yang menolak dan memprotesnya. Banyak Lembaga Swadaya Masyarakat yang menyayangkan kebijakan soal pengambilalihan kelola hutan Perhutani ini. Mereka ramai-ramai menggelar pertemuan di berbagai tempat.

Bahkan di Jawa Barat, sikap mempertanyakan itu digelar dalam sebuah diskusi terbatas, yang diikuti oleh para inohong Tatar Sunda. Mereka dikenali sebagai tokoh yang sangat peduli dan hirau terhadap prnyelamatan hutan itu sendiri. Semua ini lumrah terjadi, karena setiap ada kebijakan Pemerintah yang mengganggu “zonanyaman” seseorang atau lembaga, tentu akan melahirkan gejolak. Hal semacam itu sering kita temukan dalam kehidupan berbangsa, bernegara dan bermasyarakat.

Disodorkan pada perdebatan yang cukup hangat ini, Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) membeberkan beberapa alasan pengambilalihan kelola hutan seluas 1,1 juta hektare di Pulau Jawa dari Perum Perhutani. Pemerintah memandang perlu untuk memberi berbagai alasan dan pertimbangan, mengapa hal iti dilakukan. Selain memberi penjelasan dan pencerahan kepada segenap kompoten bangsa, hal ini dimaksudkan pula agar diperoleh pandangan yang sama terhadap SK Menteri KLHK No. 287.

Ini penting dilakukan agar kebijakan diatas tidak mengemuka menjadi ‘bola liar’ yang dapat dijadikan peluang untuk saling mengejar kepentingan masing-masing. Catatan kritisnya adalah mengapa Pemerintah masih doyan menggunakan pendekatan sebagai “pemadam kebakaran” atas setiap masalah yang muncul dalam kehidupan ? Bukankah akan lebih cantik bila penjelasan ini disampailan sebelum SK itu ditetapkan ? Bayangkan, betapa indahnya hidup di Tanah Merdeka ini jika sebelum setiap kebijakan yang melibatkan banyak kepentingam selalu dimusyawarahkan?

Bukankah Sila ke 4 Pancasila sendiri menyatakan Kerakyatan yang Dipimpin oleh Hikmah Kebijaksanaan Permusyawaratan Perwakilan ? Mestinya, musyawarah perlu ditempuh, sebelum sebuah kebijakan diputuskan. Musyawarah merupakan kata kunci, kalau kita ingin menjadikan ” deteksi dini” sebagai pendekatan untuk menyelesaikan suatu masalah yang krusial di tengah-tengah kehidupan masyarakat. Sayang, langkah ini tidak digarap secara optimal oleh para penentu kebijakan di sektor lingkungan dan kehutanan.

Dari pada tidak lebih baik telat. Inilah yang saat ini dilakukan oleh Pemerintah, setelah di lapangan banyak pihak yang begitu getol mempersoalkan kehadiran SK no. 287. Banyak FGD yang membahas soal itu. Nada protes terhadap pemberlakuan SK tersebut muncul di banyak daerah, khususnya di Pulau Jawa. Dari sinilah kemudian muncul pertanyaan Quo Vadis Hutan Jawa. Mereka khawatir jika SK tersebut diterapkan, kerusakan hutan Jawa akan semakin parah.

Untuk itu, dalam rangka memperjelas situasi yang ada, Bambamg Supriyanto (2022) menyebut kebijakan itu diambil untuk mengatasi permasalahan masyarakat di kawasan hutan Jawa yang salah satunya kemiskinan. Berdasarkan data BPS, dari 25.863 desa yang berada di sekitar kawasan hutan itu ternyata 36,7 persen termasuk kategori miskin. Sementara, angka kemiskinan di Pulau Jawa sebanyak 14 juta orang atau 52 persen dari total penduduk miskin nasional sebanyak 26,5 juta penduduk.

Pengambilalihan kelola hutan juga dilakukan sebagai upaya mengatasi lahan kritis di Pulau Jawa. Dari 2,1 juta ha lahan kritis di Jawa, 472 ribu ha berada di dalam kawasan hutan. Area kelola hutan yang diambil alih oleh Pemerintah berstatus Kawasan Hutan dengan Pengelolaan Khusus (KHDPK). Salah satu peruntukannya yakni untuk rehabilitasi. Instrumen rehabilitasi juga akan mengatasi 46 persen lahan kritis di Pulau Jawa.

Pemerintah berkomitmen akan menuntaskan konflik tenurial di kawasan itu dengan skema KHDPk itu. Desa atau kampung yang berada di dalam kawasan hutan yang terisolir seluas 7.235 Ha, tambak terlantar seluas 31.112 Ha, pertambangan seluas 1.246 Ha, dan jalan yang melintasi kawasan hutan seluas 225 Ha. Kondisi tersebut membuka kesadaran bersama untuk memperbaiki kebijakan pengelolaan hutan di Pulau Jawa.

Sebagaimana diketahui, Menteri LHK Siti Nurbaya sebelumnya mengeluarkan surat keputusan (SK) Nomor 287 tentang penetapan 1.103.941 ha Hutan Produksi dan Hutan Lindung di Pulau Jawa menjadi KHDPK.

Dengan keluarnya SK itu, area kelola Perum Perhutani tersisa 1,3 juta hektare, dari sebelumnya 2,4 juta hektare.

Hutan seluas 1,1 juta ha itu akan digunakan untuk sejumlah kepentingan. Beberapa di antaranya adalah untuk Perhutanan Sosial, rehabilitasi hutan, dan penataan hutan untuk mengatasi konflik tenurial.

Kebijakan ini beberapa waktu lalu sempat menuai kritik. Salah satunya dari Forum Penyelamat Hutan Jawa. Mereka takut pengambil alihan kelola hutan ini nantinya malah membuka ruang untuk pengrusakan hutan. Mereka khawatir kelola hutan diberikan kepada pihak yang tidak tepat.

Kerisauan Forum Penyelamat Hutan Jawa, memang cukup beralasan. Hutan Jawa, memang harus dijaga, dipelihara dan dilestarikan keasriannya. Hutan Jawa jangan dirusak. Itu sebabnya, suatu hal yang wajar jika banyak pihak meminta jaminan kepada Pemerintah apakah kalau DK No. 287 itu diterapkan, tidal bakal terjadi hal-hal yang dikhawatirkan tersebut ? Pertanyaan seperti inilah yang paling penting disiapkan untuk dicarikan jawaban cerdasnya oleh Pemerintah.

Hal lain yang patut memperoleh perenungan bersama adalah apakah penjelasan Pemerintah diatas, akan mampu memberi “kepuasan” kepada para pihak yang merisaukan Hutan Jawa saat ini dan masa datang ? Atau harus ada langkahnyata Pemerintah yang dapat memberi keyakinan kepada para pihak bahwa apa-apa yang dibeberkan Pemerintah diatas, akan benar-benar diwujudkan sebagainana yang diteorikan tersebut. Rasa was-was lumrah tercipta, karena yang namanya kebijakan Pemerintah sering terkesan ‘indah di sisi teori, namun menyebalkan dari sisi penerapannya’.

Yang butuh perhatian serius dalam pengambil-alihan kel9la hutan Perhutani sebesar 1,1 juta hektar ini adalah rencana pengembangan Perhutanan Sosial di kawasan yang diambil-alih itu. Pengalaman program Perhutanan Sosial dalam beberapa tahun belakangan ini, terlihat masih belum sesuai dengan apa yang diharapkan. Masih banyak ditemukan masalah dalam pelaksanaannya. Salah satunya, belum terluhat ada Grand Design Perhutanan Sosial yang utuh, holistik dan komprehensif.

Itu sebabnya, bila sebagian dari 1,1 juta hektar ini akan dikembangkan untuk mendukung Program Perhutanan Sosial, maka yang paling penting untuk digarap adalah merumuskan Grand Desainnya terlebih dahulu. Akan lebih keren, bila dilengkapi pula dengan Road Map pelaksanaannya. Grand Desain dan Road Map yang dirancang oleh seluruh pemangku kepentingan inilah yang menjadi jaminan pengembangan Perhutanan Sosial tidak akan merusak Hutan Jawa.

Sebagai terobosan, pengambil-alihan kelola hutan Perhutani, tentu saja harus dikawal, didampingi, diawasi dan diamankan dari kiprah oknum-oknum tertentu yang ingin memanfaatkan kesempatan diatas kesempitan. Peran penta helix menjadi cukup strategis. Tinggal sekarang bagaimana Pemerintah mengorganisasikannya, sehingga Tata Kelola Hutan Jawa ini, betul-betul mampu menjaga keseimbangan ekonomi, sosial dan ekologi menuju Hutan Lestari, sekaligus dapat mempercepat terwujudnya kesejahteraan masyarakat yang berada di sekitaran desa hutan itu sendiri.

*Penulis Merupakan Ketua Harian DPD HKTI Jawa Barat.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

error: Content is protected !!