Oleh: Wayan Supadno
Jika kita sejenak melihat ke belakang. Betapa Indonesia telah berulang kali dapat kesempatan emas dapat bekal devisa luar biasa besar. Karena kekayaan alam berlimpah.
Gula tebu (1930) juara 2 dunia. Dilanjut (1984 – 2.000) sapi, tambang, padi, kayu alam jutaan hektar dibabat dan masih banyak lagi. Bagai panen raya, diekspor dapat devisa sangat besar.
Apa yang kita dapatkan saat ini ?
1. Impor gandum 11 juta ton/tahun, gula 4 juta ton/tahun, sapi dan daging setara 1,5 juta ekor/tahun, kayu olahan, kedelai 3 juta ton/tahun, bawang putih 600.000 ton/tahun, telur, buah dan lainnya.
2. Mewariskan masalah ke anak cucu. Yaitu _stunting_, kemiskinan dan pengangguran hingga jadi TKI. Tergantung pangan impor, kehilangan petani peternak jutaan KK dan 17 juta hektar lahan terlantar.
*Artinya sebesar apapun kekayaan alam kita jika tanpa dibarengi pengelolaan yang baik dan pembangunan manusia bermutu. Maka terbukti belum membuat sejahtera. Justru jadi kecanduan.*
Saat ini dunia utamanya pangan lagi lampu kuning. Terlebih bagi negara berpenduduk banyak tanpa berdaulat pangan. Panik serius. Punya devisa, jika tidak ada yang boleh diimpor jadi masalah. Apalagi tanpa banyak devisa.
*Sebabnya, karena terjebak pada membangun manusia suka berwacana ria. Suka bicara rencana teoritis non praktik inovatif. Produksi pangan tidak cukup teori di ruangan, harus bernuansa kecerdasan lapangan.*
Ditambah lagi iklim usaha tidak berpihak ke produsen. Kebijakan pangan murah, pilihannya impor. Bukan memberi beragam faktor iklim usaha sehat agar harga pokok produksi (HPP) rendah lalu produk bisa bersaing di pasar.
Banyak yang lomba kerja keras bersinergis agar bisa berbagi ke sesama sebagai kontribusi solusi. Tapi ada juga yang masih bermental korup. Belum juga lahir kesadaran diri, tumbuh rasa malu jadi tontonan. Bukan tuntunan.
*Yang saya tahu, anak – anak kita. Tiada satupun yang minta warisan harta banyak berlebihan apalagi harta didapat dengan cara tidak terhormat. Seperlunya disyukuri. Warisan dambaan adalah nama baik kita sebagai orang tuanya.*